Cinta Tak
Berujung Di Pelaminan
Terik
matahari yang tersapu olah angin sore menenggelamkan suasana hati dua sejoli di
pinggiran pantai itu. Dua sejoli itu tidak lain adalah aku dan Farel. Aku telah
lama kenal baik dengan Farel. Kami adalah sepasang sahabat baik dari kecil yang
dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Sejak saat itulah, persahabatan kami
mulai renggang. Selama ini, Farel mengkhianati persahabatan kami. Dia telah
mencintaiku layaknya seorang kekasih. Hatiku sepenuhnya telah aku berikan
kepada Farel sebagai seorang sahabat. Senja telah menghilang dan kamipun
pulang.
Suatu
hari Farel datang ke rumah untuk mengajakku makan malam di sebuah restoran
mewah. Gelagatnya seperti orang yang akan mengungkapkan keseriusan terhadap
suatu hal. Kamipun sampai di sana. Pelayan restoran menyodorkan daftar makanan.
Lalu beranjak kembali ke dapur untuk menyerahkan daftar yang telah kami pesan.
Sepasang mata Farel penuh binar kebahagiaan.
“Intan,
aku serius dengan perjodohan kita,” ucapnya tanpa basa-basi.
Wajahku
pucat pasi. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya ada sedotan yang
mengapung di dalam gelas berisikan lemon tea hangat. Aku hanya mengangguk tanpa
bahasa apapun yang terucap. Hidangan berjejer di meja. Kamipun siap
menyantapnya.
Sesampai
di rumah, aku memikirkan ucapan Farel di restoran malam tadi. Perasaanku tak
bisa dipaksakan. Aku hanya menganggap Farel sebagai seorang sahabat. Sementara
aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. Sebut saja dia,
Rendy. Jarak yang memisahkan hubungan ini. Tetapi kami tak urung melepaskan
kepercayaan satu sama lain. Kami saling
mencintai dan berencana melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Dan aku
harus menghentikan perjodohan ini. tetapi aku juga tak mau melukai perasaan sahabatku
sendiri.
Matahari
terbit dengan sinarnya membawa kicauan burung yang sangat meramaikan pagi ini.
aku membantu menyiapkan sarapan di dapur. Kedua bola mataku melirik pada ibu
yang sedang sibuk mengaduk teh wangi dalam beberapa gelas. Hasratku mengatakan
bahwa aku harus minta pendapat kepada ibu tentang perjodohanku itu.
“Ibu,
aku sangat mencintai Rendy,” ucapku dengan cepat.
Ibu
tak menoleh sedikitpun. Sepertinya adukan teh pun telah menyibukkannya,
sehingga tak peduli dengan ucapanku. Karena rasa takut, aku bergegas mengambil
hidangan sarapan untukku. Lalu meninggalkan dapur dan lekas mandi. Akupun
berpakaian rapi dengan baju bermotif bunga dan rok mini di atas lutut.
Berkunjung ke toko buku adalah jadwalku hari ini.
Terbelalak
aku keluar kamar dan terhenti langkahku secara tiba-tiba. Semua keluargaku
berkumpul tepat di lingkaran sofa ruang tamu depan kamarku. Mereka telah
menantiku. Entah apa yang akan mereka lontarkan padaku. Jantungku tak sedetikpun
mereda. Mereka menatapku beku. Akupun memberanikan diri untuk berpamitan.
Ayahku berdiri dan langkahku terhenti di tengah daun pintu yang terbuka lebar
itu.
“Kau
harus menerima perjodohan itu apapun alasannya. Tinggalkan laki-laki itu!
Seminggu lagi pernikahanmu dengan Farel akan segera dilaksanakan,” ucapnya
lantang.
Matanya
makin memerah tanpa mengedipkan sesekali. Lalu bergegas keluar melewati tubuh
bekuku yang berdiri tepat di depannya. Pandanganku kosong mata mlompong.
Melirik kearah keluargaku yang tersisapun lebih beku seperti gumpalan salju di
kutub utara. Buliran air mata membasahi kapuk yang ada di dalam bantal ranjang
tidurku.
Tak
ada yang bisa aku lakukan saat itu. Selama seminggu menjelang pernikahanku
dengan Farel, aku dipingit dalam kamar. Rasa putusasa menggerogoti akal
sehatku. Berhari-hari hanya sebuah handphone yang kugenggam dan menemani
senduku. Terbesit dalam benakku, kugerakkan jari-jari tanganku untuk mendapat
kekuatan mengetikkan sesuatu maksud dan mengirimkannya kepada seseorang.
Aku sangat mencintaimu,
Sahabat.
Itulah
pesan yang aku kirimkan kepada Farel. Aku tahu bahwa dia akan sangat senang
jikalau aku menyampaikan larik pertama dan akan sangat hancur ketika melirik ke
larik kedua. Apa boleh buat, itulah perasaanku yang sebenarnya. Pesan terakhir
di malam pernikahanku dengan Farel.
Musik
klasik mulai terdengar menyambut pagi ini. orang-orang berlalu-lalang
mempersiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan hari ini. Tepat pukul 10.00 WIB,
acara sakral itu akan terlaksana. Berderet-deret mobil tamu undangan ikut
meramaikan acara pernikahanku dengan Farel. Sebuah mobil mewah berhias bunga
menarik perhatian tamu undangan untuk melirikkan bola matanya kepada sosok
lelaki berwajah tampan, bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berpakaian elegan.
Dialah Farel, calon suamiku. Aku melongok dari jendela. Terlihat wajahnya agak
pucat pagi ini. tapi aku tak mempermasalahkan itu. Hanyalah rasa lelah. Itulah
kesimpulanku. Sampai saat ini pun aku belum bisa menerima semua ini. Aku takkan
melakukannya jika masih ada keraguan dalam hatiku.
Percayalah, anakmu akan
membahagiakanmu kelak.
Intan.
Itulah
sepucuk surat yang kutuliskan di selembar kertas putih untuk kedua orang tuaku.
Berjaket tebal, memakai cadar, dan tas gendong di punggungku. Aku keluar lewat
jendela kamar. Meninggalkan permasalahan sulit dalam keluargaku adalah sangat
berat. Tetapi jauh lebih berat ketika menjalani hidup tertekan oleh sesuatu
yang tidak bisa diterima oleh nurani kita sendiri.
Aku
menyusul kekasih yang sangat aku cintai dan mencintaiku ke Jakarta. Rendy telah
menantiku di sana. Rendy telah mengetahui semua keadaan yang telah aku alami.
Dia sangat mengerti. Berkali-kali dia menegurku ketika aku akan memutuskan
untuk meninggalkan rumah. Sampai dia menerima akan keputusanku itu. Rendy
bekerja sebagai pemegang perusahaan milik ayahnya. Dia bertanggungjawab atas
keluarganya. Dan bertanggungjawab atas kebahagiaanku saat ini. keluarga Rendy
sudah mengenal baik dengan aku dan keluargaku. Mereka menyambut kedatanganku
dengan haru.
Sampai
akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Bahagia ataupun sedih berbeda tipis
maknanya. Tapi tak sedikitpun aku menyesal atas keputusanku menikah dengan
Rendy karena aku sangat mencintainya. Kamipun menikah dengan bahagia sesuai
yang telah kami rencanakan. Meskipun tanpa kehadiran kedua orang tuaku, aku
berjanji akan kembali meminta pengampunan dan restu kepada mereka atas dosa
besar yang telah aku lakukan.
Seseorang
yang duduk di beranda rumah, memakai syal berbahan rajutan halus melingkar di
lehernya. Dialah Farel. Dia tak pernah menyangka bahwa pesan sms yang aku
kirimkan bertahun-tahun yang lalu benar-benar pesan terakhir untuknya dariku.
Aku paham betul bahwa Farel akan dan masih hancur hidupnya setelah aku pergi
meninggalkan acara pernikahan yang sangat diharapkannya itu. Farel sangat
mengerti bahwa aku pergi menyusul Rendy ke Jakarta. Tetapi Farel akan tetap
menanti kedatanganku. Meski hanya melihat sekali wajah perindu yang terpancar
dariku. Begitulah Farel menamaiku.
“Kakek...Nenek...Kakek...Nenek...,”
teriak sepasang anak kembar itu mencari kakek dan neneknya.
Enam
tahun kemudian, aku bersama Rendy dan anak-anakku kembali ke tempat
kelahiranku. Kami memiliki sepasang anak kembar. Mereka adalah Jojo dan Jeje.
Anak berusia 5 tahun itu berlarian menuju perumahan asri yang telah
melahirkanku. Sama seperti dulu sebelum aku meninggalkan rumah. Namun sekarang,
jauh lebih sepi. Akupun beranjak memasuki rumah bersama Rendy.
Masih
ada rasa bersalah, ragu, panik, dan takut dalam diriku. Akupun masih bungkam.
Rendy juga hanya melirik ke dalam rumah, berharap penghuni rumah keluar
menemuinya. Keluarlah seorang ibu yang menderek kursi roda berisikan sebuah
beban yang tidak lain adalah ayahku. Ayahku terkena struk setelah mengetahui
anaknya meninggalkan rumah dengan pesan singkat di selembar kertas.
Rasa
penyesalanku mulai beranjak dan terlalu memukul hatiku. Terkulai lemas aku
bersujud melihat kenyataan pahit di depanku. Yang bisa aku lakukan saat ini
adalah menyalahkan diriku sendiri. Rendy memegang bahuku. Memberikan pundak
sebagai sandaranku menangis adalah kewajibannya sebagai seorang suami. Ayah
perlahan menggerakkan bola matanya ke arah sepasang anak kembar itu.
Seakan-akan bertanya siapa anak-anak itu.
Aku
berkata bahwa sepasang anak kembar itu adalah Jojo dan Jeje, cucu dari ayah.
Bergetar tubuh ayah, tak kuat menahan tangis, ayah meneteskan air matanya
dengan sekuat tenaga. Mengalir perasaan itu juga tumpah seketika.
“Maafkan
orang tuamu, Nak. Kami terlalu memaksakan kehendak kami untuk menjodohkanmu
dengan Farel enam tahun yang lalu,” kata ibu sambil terisak.
“Intan
yang harusnya minta maaf, Bu. Intan tidak bisa terima kenyataan dan keputusan
dari kedua orang tua Intan,” jawabku tersengal-sengal.
Kamipun
saling berpelukan satu sama lain, senyuman kembali melebar ketika Jojo dan Jeje
juga memeluk kakek dan neneknya. Enam tahun tak bertatap muka, kami saling
bercerita panjang kali lebar hingga menemukan luas kehidupan yang dipertemukan
kembali.
“Ibu,
bagaimana kabar Farel?” tanyaku spontan.
Raut
wajah ibu yang awalnya merekah, menjadi pucat pasi. Entah apa yang terjadi. Tak
berkata banyak ibu mengajakku ke sebuah pemakaman. Maksud apa yang akan
disampaikan padaku.
“Farel
menderita penyakit kanker hati stadium akhir. Penantiannya untukmu kembalilah
yang menguatkannya hingga ajal menjemput. Maafkan ibu juga, Nak. Karena
sahabatmulah yang meminta ibu untuk menjodohkanmu dengannya untuk menghabiskan
sisa hidupnya bersamamu. Farel sangat mencintaimu. Farel mengerti jika kamu tak
mau menikah dengannya. Tetapi ayahmulah yang bersi-keras memaksamu dalam
perjodohan ini. Semata-mata hanya untuk kebahagiaan Farel, sahabat kecilmu,
Nak,” ucapnya.
Sungguh
aku terdiam beku tepat di depan makam sahabatku. Buliran air mata mengalir
deras memeluk nisan yang bertuliskan nama orang yang aku cintai lebih dari
seorang kekasih itu. Kenapa kebenaran ini baru terungkap. Kenapa Farel tak
pernah menceritakannya padaku. Tentang penyakit yang menggerogoti tubuhnya
selama bertahun-tahun. Kenapa aku tidak bisa di sampingnya ketika dia sangat
membutuhkanku. Maafkan a ku, Farel. Aku bukan sahabat terbaikmu. Tapi kamu
adalah seseorang yang sangat berarti untukku.
0 komentar:
Posting Komentar