Sabtu, 13 Desember 2014

Cinta Tak Berujung Di Pelaminan

Terik matahari yang tersapu olah angin sore menenggelamkan suasana hati dua sejoli di pinggiran pantai itu. Dua sejoli itu tidak lain adalah aku dan Farel. Aku telah lama kenal baik dengan Farel. Kami adalah sepasang sahabat baik dari kecil yang dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Sejak saat itulah, persahabatan kami mulai renggang. Selama ini, Farel mengkhianati persahabatan kami. Dia telah mencintaiku layaknya seorang kekasih. Hatiku sepenuhnya telah aku berikan kepada Farel sebagai seorang sahabat. Senja telah menghilang dan kamipun pulang.
Suatu hari Farel datang ke rumah untuk mengajakku makan malam di sebuah restoran mewah. Gelagatnya seperti orang yang akan mengungkapkan keseriusan terhadap suatu hal. Kamipun sampai di sana. Pelayan restoran menyodorkan daftar makanan. Lalu beranjak kembali ke dapur untuk menyerahkan daftar yang telah kami pesan. Sepasang mata Farel penuh binar kebahagiaan.
“Intan, aku serius dengan perjodohan kita,” ucapnya tanpa basa-basi.
Wajahku pucat pasi. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya ada sedotan yang mengapung di dalam gelas berisikan lemon tea hangat. Aku hanya mengangguk tanpa bahasa apapun yang terucap. Hidangan berjejer di meja. Kamipun siap menyantapnya.
Sesampai di rumah, aku memikirkan ucapan Farel di restoran malam tadi. Perasaanku tak bisa dipaksakan. Aku hanya menganggap Farel sebagai seorang sahabat. Sementara aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. Sebut saja dia, Rendy. Jarak yang memisahkan hubungan ini. Tetapi kami tak urung melepaskan kepercayaan satu sama  lain. Kami saling mencintai dan berencana melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Dan aku harus menghentikan perjodohan ini. tetapi aku juga tak mau melukai perasaan sahabatku sendiri.
Matahari terbit dengan sinarnya membawa kicauan burung yang sangat meramaikan pagi ini. aku membantu menyiapkan sarapan di dapur. Kedua bola mataku melirik pada ibu yang sedang sibuk mengaduk teh wangi dalam beberapa gelas. Hasratku mengatakan bahwa aku harus minta pendapat kepada ibu tentang perjodohanku itu.
“Ibu, aku sangat mencintai Rendy,” ucapku dengan cepat.
Ibu tak menoleh sedikitpun. Sepertinya adukan teh pun telah menyibukkannya, sehingga tak peduli dengan ucapanku. Karena rasa takut, aku bergegas mengambil hidangan sarapan untukku. Lalu meninggalkan dapur dan lekas mandi. Akupun berpakaian rapi dengan baju bermotif bunga dan rok mini di atas lutut. Berkunjung ke toko buku adalah jadwalku hari ini.
Terbelalak aku keluar kamar dan terhenti langkahku secara tiba-tiba. Semua keluargaku berkumpul tepat di lingkaran sofa ruang tamu depan kamarku. Mereka telah menantiku. Entah apa yang akan mereka lontarkan padaku. Jantungku tak sedetikpun mereda. Mereka menatapku beku. Akupun memberanikan diri untuk berpamitan. Ayahku berdiri dan langkahku terhenti di tengah daun pintu yang terbuka lebar itu.
“Kau harus menerima perjodohan itu apapun alasannya. Tinggalkan laki-laki itu! Seminggu lagi pernikahanmu dengan Farel akan segera dilaksanakan,” ucapnya lantang.
Matanya makin memerah tanpa mengedipkan sesekali. Lalu bergegas keluar melewati tubuh bekuku yang berdiri tepat di depannya. Pandanganku kosong mata mlompong. Melirik kearah keluargaku yang tersisapun lebih beku seperti gumpalan salju di kutub utara. Buliran air mata membasahi kapuk yang ada di dalam bantal ranjang tidurku.
Tak ada yang bisa aku lakukan saat itu. Selama seminggu menjelang pernikahanku dengan Farel, aku dipingit dalam kamar. Rasa putusasa menggerogoti akal sehatku. Berhari-hari hanya sebuah handphone yang kugenggam dan menemani senduku. Terbesit dalam benakku, kugerakkan jari-jari tanganku untuk mendapat kekuatan mengetikkan sesuatu maksud dan mengirimkannya kepada seseorang.
Aku sangat mencintaimu,
Sahabat.
Itulah pesan yang aku kirimkan kepada Farel. Aku tahu bahwa dia akan sangat senang jikalau aku menyampaikan larik pertama dan akan sangat hancur ketika melirik ke larik kedua. Apa boleh buat, itulah perasaanku yang sebenarnya. Pesan terakhir di malam pernikahanku dengan Farel.
Musik klasik mulai terdengar menyambut pagi ini. orang-orang berlalu-lalang mempersiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan hari ini. Tepat pukul 10.00 WIB, acara sakral itu akan terlaksana. Berderet-deret mobil tamu undangan ikut meramaikan acara pernikahanku dengan Farel. Sebuah mobil mewah berhias bunga menarik perhatian tamu undangan untuk melirikkan bola matanya kepada sosok lelaki berwajah tampan, bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berpakaian elegan. Dialah Farel, calon suamiku. Aku melongok dari jendela. Terlihat wajahnya agak pucat pagi ini. tapi aku tak mempermasalahkan itu. Hanyalah rasa lelah. Itulah kesimpulanku. Sampai saat ini pun aku belum bisa menerima semua ini. Aku takkan melakukannya jika masih ada keraguan dalam hatiku.
Percayalah, anakmu akan membahagiakanmu kelak.
Intan.
Itulah sepucuk surat yang kutuliskan di selembar kertas putih untuk kedua orang tuaku. Berjaket tebal, memakai cadar, dan tas gendong di punggungku. Aku keluar lewat jendela kamar. Meninggalkan permasalahan sulit dalam keluargaku adalah sangat berat. Tetapi jauh lebih berat ketika menjalani hidup tertekan oleh sesuatu yang tidak bisa diterima oleh nurani kita sendiri.
Aku menyusul kekasih yang sangat aku cintai dan mencintaiku ke Jakarta. Rendy telah menantiku di sana. Rendy telah mengetahui semua keadaan yang telah aku alami. Dia sangat mengerti. Berkali-kali dia menegurku ketika aku akan memutuskan untuk meninggalkan rumah. Sampai dia menerima akan keputusanku itu. Rendy bekerja sebagai pemegang perusahaan milik ayahnya. Dia bertanggungjawab atas keluarganya. Dan bertanggungjawab atas kebahagiaanku saat ini. keluarga Rendy sudah mengenal baik dengan aku dan keluargaku. Mereka menyambut kedatanganku dengan haru.
Sampai akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Bahagia ataupun sedih berbeda tipis maknanya. Tapi tak sedikitpun aku menyesal atas keputusanku menikah dengan Rendy karena aku sangat mencintainya. Kamipun menikah dengan bahagia sesuai yang telah kami rencanakan. Meskipun tanpa kehadiran kedua orang tuaku, aku berjanji akan kembali meminta pengampunan dan restu kepada mereka atas dosa besar yang telah aku lakukan.
Seseorang yang duduk di beranda rumah, memakai syal berbahan rajutan halus melingkar di lehernya. Dialah Farel. Dia tak pernah menyangka bahwa pesan sms yang aku kirimkan bertahun-tahun yang lalu benar-benar pesan terakhir untuknya dariku. Aku paham betul bahwa Farel akan dan masih hancur hidupnya setelah aku pergi meninggalkan acara pernikahan yang sangat diharapkannya itu. Farel sangat mengerti bahwa aku pergi menyusul Rendy ke Jakarta. Tetapi Farel akan tetap menanti kedatanganku. Meski hanya melihat sekali wajah perindu yang terpancar dariku. Begitulah Farel menamaiku.
“Kakek...Nenek...Kakek...Nenek...,” teriak sepasang anak kembar itu mencari kakek dan neneknya.
Enam tahun kemudian, aku bersama Rendy dan anak-anakku kembali ke tempat kelahiranku. Kami memiliki sepasang anak kembar. Mereka adalah Jojo dan Jeje. Anak berusia 5 tahun itu berlarian menuju perumahan asri yang telah melahirkanku. Sama seperti dulu sebelum aku meninggalkan rumah. Namun sekarang, jauh lebih sepi. Akupun beranjak memasuki rumah bersama Rendy.
Masih ada rasa bersalah, ragu, panik, dan takut dalam diriku. Akupun masih bungkam. Rendy juga hanya melirik ke dalam rumah, berharap penghuni rumah keluar menemuinya. Keluarlah seorang ibu yang menderek kursi roda berisikan sebuah beban yang tidak lain adalah ayahku. Ayahku terkena struk setelah mengetahui anaknya meninggalkan rumah dengan pesan singkat di selembar kertas.
Rasa penyesalanku mulai beranjak dan terlalu memukul hatiku. Terkulai lemas aku bersujud melihat kenyataan pahit di depanku. Yang bisa aku lakukan saat ini adalah menyalahkan diriku sendiri. Rendy memegang bahuku. Memberikan pundak sebagai sandaranku menangis adalah kewajibannya sebagai seorang suami. Ayah perlahan menggerakkan bola matanya ke arah sepasang anak kembar itu. Seakan-akan bertanya siapa anak-anak itu.
Aku berkata bahwa sepasang anak kembar itu adalah Jojo dan Jeje, cucu dari ayah. Bergetar tubuh ayah, tak kuat menahan tangis, ayah meneteskan air matanya dengan sekuat tenaga. Mengalir perasaan itu juga tumpah seketika.
“Maafkan orang tuamu, Nak. Kami terlalu memaksakan kehendak kami untuk menjodohkanmu dengan Farel enam tahun yang lalu,” kata ibu sambil terisak.
“Intan yang harusnya minta maaf, Bu. Intan tidak bisa terima kenyataan dan keputusan dari kedua orang tua Intan,” jawabku tersengal-sengal.
Kamipun saling berpelukan satu sama lain, senyuman kembali melebar ketika Jojo dan Jeje juga memeluk kakek dan neneknya. Enam tahun tak bertatap muka, kami saling bercerita panjang kali lebar hingga menemukan luas kehidupan yang dipertemukan kembali.
“Ibu, bagaimana kabar Farel?” tanyaku spontan.
Raut wajah ibu yang awalnya merekah, menjadi pucat pasi. Entah apa yang terjadi. Tak berkata banyak ibu mengajakku ke sebuah pemakaman. Maksud apa yang akan disampaikan padaku.
“Farel menderita penyakit kanker hati stadium akhir. Penantiannya untukmu kembalilah yang menguatkannya hingga ajal menjemput. Maafkan ibu juga, Nak. Karena sahabatmulah yang meminta ibu untuk menjodohkanmu dengannya untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamamu. Farel sangat mencintaimu. Farel mengerti jika kamu tak mau menikah dengannya. Tetapi ayahmulah yang bersi-keras memaksamu dalam perjodohan ini. Semata-mata hanya untuk kebahagiaan Farel, sahabat kecilmu, Nak,” ucapnya.
Sungguh aku terdiam beku tepat di depan makam sahabatku. Buliran air mata mengalir deras memeluk nisan yang bertuliskan nama orang yang aku cintai lebih dari seorang kekasih itu. Kenapa kebenaran ini baru terungkap. Kenapa Farel tak pernah menceritakannya padaku. Tentang penyakit yang menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Kenapa aku tidak bisa di sampingnya ketika dia sangat membutuhkanku. Maafkan a ku, Farel. Aku bukan sahabat terbaikmu. Tapi kamu adalah seseorang yang sangat berarti untukku.


0 komentar:

Blog Archive

Popular Posts