This is default featured slide 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by Premiumblogtemplates.com

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by Premiumblogtemplates.com

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by Premiumblogtemplates.com

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by Premiumblogtemplates.com

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by Premiumblogtemplates.com

Sabtu, 13 Desember 2014

Lama-kelamaan aku makin nyaman berada di desa ini, Ayah dan Ibuku pun memutuskan untuk menetap disini. Seperti biasanya pagi itu aku berangkat sekolah bersama Shilla dan Mauline. Ujian dimulai hari ini entah apa yang sudah ku siapkan hanya sedikit membaca buku tadi pagi rasanya kurang cukup, sesampainya di sekolah rasanya ingin cepat-cepat menuju kelas.

“Linda, Sintia aku ke kelas duluan yaa mau belajar!” ucap ku sembari meninggalkan mereka di depan gerbang sekolah. Aku berlari secepat kilat tanpa sengaja, Praaakkkk, aku menabrak seseorang, bukuku berantakan, aku terjatuh kakiku lecet-lecet, “Maaf gua gak sengaja!” ucap seseorang tadi dengan nada ketus menyodorkan buku-buku ku yang dipungutnya. Dengan reflek aku pun menoleh ke atas, ternyata orang yang menabrakku tadi adalah anak baru yang kemarin aku temui. “Mata lu ditaruh dimana sih, udah tau ada orang lari ehh malah ditabrak” gumamku dengan nada kesal. “Ihh kok lu jadi nyalahin gue sihh? Jelas jelas lu yang salah, ngapain sih pake lari-lari di koridor sekolah udah tau sempit banyak orang lagi, udah sini bangun” jawab anak baru itu sambil menyodorkan tangannya ke arahku. Aku pun menjabat tangannya, dia memapahku sampai ke UKS dan mengobati kaki ku yang lecet-lecet tadi.


“Cewek tengil kaya lo ternyata bisa luka juga yah!” Ledek anak baru itu.
“Apa? Gue cewek tengil? Loe tu yang so cool” ucapku dengan nada bertambah kesal.
Tettt tettt bel masuk pun berbunyi.
“Udah sana ke kelas udah masuk tuhh” ucap anak baru itu.
“Iyee iyee, tapi gua gak bisa jalann” jawabku.
“Ya udah sini gua anterin, sebenernya sihh gak mau juga nganterin cewek tengil manja kaya lo, tapi ya udah lah secara kan gue baik hati” ujar Rafi si anak baru nyebelin itu.
“Udah sampai tuhh sana masuk, oiya bilang makasih atau apa kek” ucapnya sambil memasang muka sok cool nya.
“Maksa banget, ya udah makasih!” kata ku sambil masuk ke kelasku.

Bel pun berbunyi tanda ujian telah selesai, seperti biasanya aku menuju tempat favoritku di taman belakang sekolah. Sembari duduk di bawah pohon tua seperti biasa aku pun menyalakan lagu kesukaanku. *Dia Dia Dia tlah mencuri hatiku.. “Suara gak bagus aja pake nyanyi bikin gigi gua sakit aja” ucap seseorang yang seketika membuat aku berhenti menyanyi. Aku pun menoleh ke belakang betapa terkejutnya aku ternyata dia.

“aahh sial hari ini aku benar-benar sial kenapa sih harus ketemu orang seperti dia” gumamku dalam hati. “ngapain lo disini? ngikutin gua yaa?” Tanyaku dengan muka meledek.
“ihhh PD banget sih lo gak level kali ngikutin cewek kaya lo!” Jawabnya.


Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan bergati tahun. Aku dan rafa pun sering bertemu, bukan bertemu sih tapi tepatnya kita sering bertengkar kata teman-teman sih mirip tom dan jerry. Pagi itu mungkin adalah pagi yang paling menyebalkan bagiku, Aku bertemu Rafi anak baru yang cool itu rasanya ingin ku obrak-abrik wajahnya sungguh menyebalkan.

“Ngapain liat-liat?” tanyaku kepada Rafi yang pada saat itu memandangiku.
“GR banget sih lo? siapa coba yang ngeliatin lo? orang gua lagi ngeliatin tulisan di belakang lo” jawab Rafa mengelak.
“Ahh pake ngeles lagi bilang aja lagi ngeliatin gue kan? iya kan?” ucapku sambil meledek rafa.
“Ih enggak tau, lah udahlah gue gak ada waktu buat ngomong sama lo” ucap rafa sambil berjalan menuju kantin.
“Cantik sih, pinter lagi tapi sayangnya nyebelin banget” Gumam Rafi dalam hati sambil mengingat wajah Tata yang cantik.
“Hayoo lo! lagi ngelamunin apaan?” Tanya Fachri yang seketika menghentikan lamunan Rafi.
“Enggak ri, Cuma lagi mikirin pelajaran tadi” Jawab Rafi.
*Tetttt… Tettt bel pulang pun berbunyi. Dari kejauhan terlihat Rafi yang sedang berdiri di depan kelas tanpa sadar aku memandangi wajahnya. “hmmm… cakep juga tuh cowok tapi sayangnya bikin jengkel mulu” Gumamku dalam hati.
“Ayo ta pulang!” Ucap Sintia dan Linda sahabatku yang seketika menghentikan lamunanku. Akhirnya kami pun pulang, saat perjalanan pulang lagi-lagi aku bertemu dengan manusia paling nyebelin yang pernah aku kenal tapi ada yang sedikit berbeda dengan perasaanku kali ini entah mengapa hatiku bergetar-getar tak karuan. Rafi pun juga merasakan hal yang sama.

"Rio, cepat bereskan kamarmu!" "Iya bu" jawab Rio. Rio hanya tinggal berdua dengan ibunya, karena ayahnya sudah meninggal akibat kecelakaan 3 tahun yang lalu. Setiap hari Rio membantu ibunya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan ibunya bekerja sebagai penjual jamu keliling. Jika Rio tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, ibunya sering memukulnya menggunakan rotan. Karena itulah, Rio selalu melaksanakan perintah ibunya dengan baik. Suatu hari, Rio sedang asyiknya bermain ke warnet, tidak sengaja dia berkenalan dengan seorang gadis cantik di facebook. Namanya Nia, umurnya 1 tahun lebih tua dari pada Rio.

"hai cantik" kata Rio memulai pembicaraan.
"hei juga", jawab Nia. "boleh kenalan nggak?" tanya Rio.
"boleh, aku Nia Ashanti, panggil aja Nia, kamu siapa?" kata Nia.
"aku Rio Febrian , panggilannya Rio, hihihi." jawab Rio dengan sedikit bercanda.
"ihh, kamu lucu deh, masa' nama kamu itu sih?" tanya Nia,
"nggak lah, cuma bercanda, namaku Rio Budi Setiawan".

Setelah cukup lama mereka berkenalan, akhirnya Rio berhasil mendapatkan nomor hape Nia. Saat itu juga Rio langsung mengirim pesan pada Nia. Hari demi hari terus berganti. Tak henti-hentinya Rio berkirim pesan dengan Nia.


Mereka pun bisa saling bercanda dan saling mengerti. Saat itu pula, Rio mulai menyimpan rasa pada Nia sedikit demi sedikit, tetapi Rio tidak berani mengungkapkannya karena Nia sudah memiliki seorang kekasih. Perasaan kecewa dan senang bercampur aduk di hati Rio dan itu membuat sikapnya sedikit berubah. Hal itu membuat Rio lalai dalam melaksanakan perintah ibunya, dia jadi sering keluar rumah untuk menelpon Nia, karena kalau ketahuan ibunya, Rio akan dipukuli. Ibu Rio pun mengamati perubahan pada diri Rio yang setiap hari terus berubah-ubah, lalai dalam menjalankan tugas dan sering keluar rumah. Malam harinya saat Rio tertidur, ibunya melihat semua pesan di hape Rio. Mengetahui hanya karena seorang gadis sikap Rio sampai berubah, ibu Rio pun naik pitam. Dibantingnya hape Rio, kemudian dia memukul Rio hingga ia terbangun. Rio yang tidak tahu apa-apa langsung dipukuli oleh ibunya. Rio yang sakit hati pun langsung kabur dari rumah. Saat itu hujan turun deras sekali. Malam ini hujan turun lagi, bersama kenangan yang mungkin luka di hati, luka yang harusnya dapat terobati, dan kuharap tiada pernah terjadi... wajar bila saat ini, kuiri pada kalian, yang hidup bahagia berkat suasana, indah dalam rumah, hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam, tiada harga diri agar hidupku terus bertahan.

Rio pun pergi kerumah temannya, Andi yang tak jauh dari rumahnya. Disana ia tinggal untuk beberapa saat. Karena merasa bosan, Rio mengirim pesan pada Nia, tetapi saat itu Nia sedang sakit hati karena kekasihnya telah selingkuh. Nia pun sedikit terhibur oleh Rio. Saat itu juga Nia mulai menyimpan rasa pada Rio. Seminggu setelah itu, Rio pun berpacaran dengan Nia. Keduanya akhirnya bisa menjalani hubungan mereka dengan hati yang senang, walau mereka terpisah oleh jarak ruang dan waktu. Hari demi hari, bulan demi bulan mereka jalani. Akhirnya Nia mengajak bertemu di suatu tempat. Rio merasa senang sekali. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Nia sudah menunggu di tempat yang dijanjikannya. Ketika Rio akan berangkat, seseorang mengabarkan bahwa ibu Rio sedang dirawat di rumah sakit, karena tertabrak oleh mobil ketika akan menyeberang jalan. Rio menjadi bingung harus memilih yang mana, sebagai anak ia harus berbakti pada ibunya walau telah disakiti berkali-kali, tetapi ia juga tidak mungkin mengecewakan kekasihnya yang sangat dicintainya itu.


Keduanya sama-sama pentingnya dalam hidup Rio. Kedua pilihan itu membuat Rio menjadi frustasi. Setelah cukup lama, akhirnya ia memutuskan,"walaupun ibu telah mengusirku dari rumah, tapi aku akan tetap berbakti padanya, aku nggak akan menjadi anak yang durhaka, maafin aku sayang..." begitulah kata Rio. Akhirnya dinaikinya motor milik Andi langsung menuju rumah sakit, sialnya tanpa sadar hapenya terjatuh di jalan raya sehingga ia tidak bisa mengabari Nia. Dikebutnya motor itu dengan laju yang sangat kencang. Sesampainya di rumah sakit, ternyata ibu Rio sudah meninggal, dan dokter mengatakan kata-kata yang diucapkan ibu Rio sebelum meninggal adalah "Rio, maafkan ibu". Rasa sedih menyelimuti hati Rio, tangis air mata tak bisa dibendungnya. "TIDAAAAAAAKKK...!!! IBUU...!!! JANGAN TINGGALKAN AKU!!!!" teriak Rio sambil menangis di rumah sakit. Satu jam setelah Rio sedikit lebih tenang, ia baru teringat akan Nia. Dirabanya saku celananya, dan dia tidak ditemukan hapenya itu. Dia baru tersadar jika hapenya telah hilang. Rasa bersalahnya pun muncul ketika ia tersadar bahwa ia telah menyakiti hati kekasihnya itu. Nia pun merasa kecewa pada Rio, dan memutuskan hubungan mereka lewat facebook. Pada akhirnya, Rio tidak mendapatkan apa-apa, sendiri..., kesepian..., tiada yang menemani... .

Cinta Tak Berujung Di Pelaminan

Terik matahari yang tersapu olah angin sore menenggelamkan suasana hati dua sejoli di pinggiran pantai itu. Dua sejoli itu tidak lain adalah aku dan Farel. Aku telah lama kenal baik dengan Farel. Kami adalah sepasang sahabat baik dari kecil yang dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Sejak saat itulah, persahabatan kami mulai renggang. Selama ini, Farel mengkhianati persahabatan kami. Dia telah mencintaiku layaknya seorang kekasih. Hatiku sepenuhnya telah aku berikan kepada Farel sebagai seorang sahabat. Senja telah menghilang dan kamipun pulang.
Suatu hari Farel datang ke rumah untuk mengajakku makan malam di sebuah restoran mewah. Gelagatnya seperti orang yang akan mengungkapkan keseriusan terhadap suatu hal. Kamipun sampai di sana. Pelayan restoran menyodorkan daftar makanan. Lalu beranjak kembali ke dapur untuk menyerahkan daftar yang telah kami pesan. Sepasang mata Farel penuh binar kebahagiaan.
“Intan, aku serius dengan perjodohan kita,” ucapnya tanpa basa-basi.
Wajahku pucat pasi. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya ada sedotan yang mengapung di dalam gelas berisikan lemon tea hangat. Aku hanya mengangguk tanpa bahasa apapun yang terucap. Hidangan berjejer di meja. Kamipun siap menyantapnya.
Sesampai di rumah, aku memikirkan ucapan Farel di restoran malam tadi. Perasaanku tak bisa dipaksakan. Aku hanya menganggap Farel sebagai seorang sahabat. Sementara aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. Sebut saja dia, Rendy. Jarak yang memisahkan hubungan ini. Tetapi kami tak urung melepaskan kepercayaan satu sama  lain. Kami saling mencintai dan berencana melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Dan aku harus menghentikan perjodohan ini. tetapi aku juga tak mau melukai perasaan sahabatku sendiri.
Matahari terbit dengan sinarnya membawa kicauan burung yang sangat meramaikan pagi ini. aku membantu menyiapkan sarapan di dapur. Kedua bola mataku melirik pada ibu yang sedang sibuk mengaduk teh wangi dalam beberapa gelas. Hasratku mengatakan bahwa aku harus minta pendapat kepada ibu tentang perjodohanku itu.
“Ibu, aku sangat mencintai Rendy,” ucapku dengan cepat.
Ibu tak menoleh sedikitpun. Sepertinya adukan teh pun telah menyibukkannya, sehingga tak peduli dengan ucapanku. Karena rasa takut, aku bergegas mengambil hidangan sarapan untukku. Lalu meninggalkan dapur dan lekas mandi. Akupun berpakaian rapi dengan baju bermotif bunga dan rok mini di atas lutut. Berkunjung ke toko buku adalah jadwalku hari ini.
Terbelalak aku keluar kamar dan terhenti langkahku secara tiba-tiba. Semua keluargaku berkumpul tepat di lingkaran sofa ruang tamu depan kamarku. Mereka telah menantiku. Entah apa yang akan mereka lontarkan padaku. Jantungku tak sedetikpun mereda. Mereka menatapku beku. Akupun memberanikan diri untuk berpamitan. Ayahku berdiri dan langkahku terhenti di tengah daun pintu yang terbuka lebar itu.
“Kau harus menerima perjodohan itu apapun alasannya. Tinggalkan laki-laki itu! Seminggu lagi pernikahanmu dengan Farel akan segera dilaksanakan,” ucapnya lantang.
Matanya makin memerah tanpa mengedipkan sesekali. Lalu bergegas keluar melewati tubuh bekuku yang berdiri tepat di depannya. Pandanganku kosong mata mlompong. Melirik kearah keluargaku yang tersisapun lebih beku seperti gumpalan salju di kutub utara. Buliran air mata membasahi kapuk yang ada di dalam bantal ranjang tidurku.
Tak ada yang bisa aku lakukan saat itu. Selama seminggu menjelang pernikahanku dengan Farel, aku dipingit dalam kamar. Rasa putusasa menggerogoti akal sehatku. Berhari-hari hanya sebuah handphone yang kugenggam dan menemani senduku. Terbesit dalam benakku, kugerakkan jari-jari tanganku untuk mendapat kekuatan mengetikkan sesuatu maksud dan mengirimkannya kepada seseorang.
Aku sangat mencintaimu,
Sahabat.
Itulah pesan yang aku kirimkan kepada Farel. Aku tahu bahwa dia akan sangat senang jikalau aku menyampaikan larik pertama dan akan sangat hancur ketika melirik ke larik kedua. Apa boleh buat, itulah perasaanku yang sebenarnya. Pesan terakhir di malam pernikahanku dengan Farel.
Musik klasik mulai terdengar menyambut pagi ini. orang-orang berlalu-lalang mempersiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan hari ini. Tepat pukul 10.00 WIB, acara sakral itu akan terlaksana. Berderet-deret mobil tamu undangan ikut meramaikan acara pernikahanku dengan Farel. Sebuah mobil mewah berhias bunga menarik perhatian tamu undangan untuk melirikkan bola matanya kepada sosok lelaki berwajah tampan, bertubuh tinggi, berkulit putih, dan berpakaian elegan. Dialah Farel, calon suamiku. Aku melongok dari jendela. Terlihat wajahnya agak pucat pagi ini. tapi aku tak mempermasalahkan itu. Hanyalah rasa lelah. Itulah kesimpulanku. Sampai saat ini pun aku belum bisa menerima semua ini. Aku takkan melakukannya jika masih ada keraguan dalam hatiku.
Percayalah, anakmu akan membahagiakanmu kelak.
Intan.
Itulah sepucuk surat yang kutuliskan di selembar kertas putih untuk kedua orang tuaku. Berjaket tebal, memakai cadar, dan tas gendong di punggungku. Aku keluar lewat jendela kamar. Meninggalkan permasalahan sulit dalam keluargaku adalah sangat berat. Tetapi jauh lebih berat ketika menjalani hidup tertekan oleh sesuatu yang tidak bisa diterima oleh nurani kita sendiri.
Aku menyusul kekasih yang sangat aku cintai dan mencintaiku ke Jakarta. Rendy telah menantiku di sana. Rendy telah mengetahui semua keadaan yang telah aku alami. Dia sangat mengerti. Berkali-kali dia menegurku ketika aku akan memutuskan untuk meninggalkan rumah. Sampai dia menerima akan keputusanku itu. Rendy bekerja sebagai pemegang perusahaan milik ayahnya. Dia bertanggungjawab atas keluarganya. Dan bertanggungjawab atas kebahagiaanku saat ini. keluarga Rendy sudah mengenal baik dengan aku dan keluargaku. Mereka menyambut kedatanganku dengan haru.
Sampai akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Bahagia ataupun sedih berbeda tipis maknanya. Tapi tak sedikitpun aku menyesal atas keputusanku menikah dengan Rendy karena aku sangat mencintainya. Kamipun menikah dengan bahagia sesuai yang telah kami rencanakan. Meskipun tanpa kehadiran kedua orang tuaku, aku berjanji akan kembali meminta pengampunan dan restu kepada mereka atas dosa besar yang telah aku lakukan.
Seseorang yang duduk di beranda rumah, memakai syal berbahan rajutan halus melingkar di lehernya. Dialah Farel. Dia tak pernah menyangka bahwa pesan sms yang aku kirimkan bertahun-tahun yang lalu benar-benar pesan terakhir untuknya dariku. Aku paham betul bahwa Farel akan dan masih hancur hidupnya setelah aku pergi meninggalkan acara pernikahan yang sangat diharapkannya itu. Farel sangat mengerti bahwa aku pergi menyusul Rendy ke Jakarta. Tetapi Farel akan tetap menanti kedatanganku. Meski hanya melihat sekali wajah perindu yang terpancar dariku. Begitulah Farel menamaiku.
“Kakek...Nenek...Kakek...Nenek...,” teriak sepasang anak kembar itu mencari kakek dan neneknya.
Enam tahun kemudian, aku bersama Rendy dan anak-anakku kembali ke tempat kelahiranku. Kami memiliki sepasang anak kembar. Mereka adalah Jojo dan Jeje. Anak berusia 5 tahun itu berlarian menuju perumahan asri yang telah melahirkanku. Sama seperti dulu sebelum aku meninggalkan rumah. Namun sekarang, jauh lebih sepi. Akupun beranjak memasuki rumah bersama Rendy.
Masih ada rasa bersalah, ragu, panik, dan takut dalam diriku. Akupun masih bungkam. Rendy juga hanya melirik ke dalam rumah, berharap penghuni rumah keluar menemuinya. Keluarlah seorang ibu yang menderek kursi roda berisikan sebuah beban yang tidak lain adalah ayahku. Ayahku terkena struk setelah mengetahui anaknya meninggalkan rumah dengan pesan singkat di selembar kertas.
Rasa penyesalanku mulai beranjak dan terlalu memukul hatiku. Terkulai lemas aku bersujud melihat kenyataan pahit di depanku. Yang bisa aku lakukan saat ini adalah menyalahkan diriku sendiri. Rendy memegang bahuku. Memberikan pundak sebagai sandaranku menangis adalah kewajibannya sebagai seorang suami. Ayah perlahan menggerakkan bola matanya ke arah sepasang anak kembar itu. Seakan-akan bertanya siapa anak-anak itu.
Aku berkata bahwa sepasang anak kembar itu adalah Jojo dan Jeje, cucu dari ayah. Bergetar tubuh ayah, tak kuat menahan tangis, ayah meneteskan air matanya dengan sekuat tenaga. Mengalir perasaan itu juga tumpah seketika.
“Maafkan orang tuamu, Nak. Kami terlalu memaksakan kehendak kami untuk menjodohkanmu dengan Farel enam tahun yang lalu,” kata ibu sambil terisak.
“Intan yang harusnya minta maaf, Bu. Intan tidak bisa terima kenyataan dan keputusan dari kedua orang tua Intan,” jawabku tersengal-sengal.
Kamipun saling berpelukan satu sama lain, senyuman kembali melebar ketika Jojo dan Jeje juga memeluk kakek dan neneknya. Enam tahun tak bertatap muka, kami saling bercerita panjang kali lebar hingga menemukan luas kehidupan yang dipertemukan kembali.
“Ibu, bagaimana kabar Farel?” tanyaku spontan.
Raut wajah ibu yang awalnya merekah, menjadi pucat pasi. Entah apa yang terjadi. Tak berkata banyak ibu mengajakku ke sebuah pemakaman. Maksud apa yang akan disampaikan padaku.
“Farel menderita penyakit kanker hati stadium akhir. Penantiannya untukmu kembalilah yang menguatkannya hingga ajal menjemput. Maafkan ibu juga, Nak. Karena sahabatmulah yang meminta ibu untuk menjodohkanmu dengannya untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamamu. Farel sangat mencintaimu. Farel mengerti jika kamu tak mau menikah dengannya. Tetapi ayahmulah yang bersi-keras memaksamu dalam perjodohan ini. Semata-mata hanya untuk kebahagiaan Farel, sahabat kecilmu, Nak,” ucapnya.
Sungguh aku terdiam beku tepat di depan makam sahabatku. Buliran air mata mengalir deras memeluk nisan yang bertuliskan nama orang yang aku cintai lebih dari seorang kekasih itu. Kenapa kebenaran ini baru terungkap. Kenapa Farel tak pernah menceritakannya padaku. Tentang penyakit yang menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Kenapa aku tidak bisa di sampingnya ketika dia sangat membutuhkanku. Maafkan a ku, Farel. Aku bukan sahabat terbaikmu. Tapi kamu adalah seseorang yang sangat berarti untukku.


Kamis, 11 Desember 2014



“Cinta Pertama”

Suara ayam membangunkan mimpi indah si Aris yang berkesan. Aris yang masih sedikit ngantuk it tersenyum – senyum sendiri karena dia bermimpi sang pujaan hati. Matanya yang masih merem melek tiba – tiba melihat jam yang ada disebelahnya menunjukan pukul 06 : 15. Dengan sontak badan Aris langsung bangun dari kasurnya yang bergambar club bola yaitu Manchester United. Dia langsung mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.

Aris yang keluar dari kamar mandi masih kedinginan karena ini adalah musim hujan yang luar biasa. Setelah berganti baju ia bergegas mengambil tas dan tancap gas menuju ke sekolah. Sampai di sekolah mata Aris terbuka melihat bidadari cantik dengan harum minyak seperti di surga yang lewat di hadapan Aris. Cewek yang lewat di hadapan Aris adalah teman sekelasnya yang bernama Tia. Dia yang mampu membuat Aris tergila – gila akan pesonanya yang cantik dan ramah Aris dengan percaya dirinya menyapa bidadari yaitu Tia.

“Hai.. Tia cantik”
“Hai juga Aris”
“Hari ini Tia cantik banget sih..”
“Ahh masak sih ris.. Makasih ya”
“Iya cantik”

Dengan harum parfumnya yang masih tertinggal Tia melangkah pergi ke kelasnya  dan meninggalkan si Aris yang masih bengong. Aris yang bergegas ke kelas untuk melihatnya sang pujaan hati. Sampai didepan pintu kelas langkah Aris pun terhenti karena ada seorang wanita cantik yang berdiri tepat di depannya.

“Hai.. ris, kenapa bengong”
“Ohh.. baru ini aku melihat bidadari di hadapanku”
“Siapa?.. aku ya??”
“Kalau bukan kamu siapa lagi cantik”
“Haha.. Aris modus”
“Nggak.. saya itu tulus, hehe..”

Tiba – tiba bunyi bel masuk pelajaran pertama terdengar, Aris dan Tia pun segera berlari ke tempat duduk mereka masing – masing.

Tempat duduk Aris yang berada paling depan dan yang sangat jauh dengan tempat duduk si pujaan hati Tia. Di sela – sela pelajaran mereka  sering mencuri – curi pandangan satu sama lain. Mata si Tia yang indah  semakin membuat Aris tambah cinta dan sayang . Hati Aris yang terus bergejolak bila dekat dan tatapan mata sama si Tia. Pada saat itu kebetulan jam pelajaran pertaman dan kedua kosong. Dalam hati Aris ia berfikir untuk  mendekatkan disi kepada si Tia. Denga percaya diri Aris berjalan ke arah bangku Tia.

“Hai.. Tia, lagi apa?”
“Hai juga, lagi ngerjain tugas kemarin, kamu sudah selesai?”
“Oh itu.. Alhamdullilllah belum , jhahha...”
“Haha.. kok malah nagis..”
“Ha.. saya lagi ketawa”
“Ophh ketawa tadi..”
“Iya cantik..”

Muka si Tiajadi merah mungkin karena malu di gombalin Aris. Pada saat itu mereka ngobrol dan bertatapan muka. Mereka tiba – tiba diam dan bertatapan muka. Tiba – tiba jam isitirahat berbunyi dan jam menunjukan pukul 12 : 30 . Dengan seketika mereka pun sama – sama kaget malah mereka senyum – senyum sendiri.

Setelah jam istirahat selesai semua siswa – siswi pun masuk kedalam kelas. Aris yang dari ayah barat lari cepat mau nabrak si Tia yang dari luar mau membuang sampah.

“Ehh.. Ada si cantik..”
“Kamu sih,, lari gak pelang - pelan”
“Kalau pelang namanya  jalan”
“Oh iya..”

Ternyata di belakang mereka ada guru mapel

“Ayo  Aris dan Tia masuk..”
“Iya pak”

Dalam kelas  pada saat pelajaran pikiran Aris yang selalu memikirkan si Tia. Tiba – tiba bapak guru bertanya pada Aris.

“Ris.. mikirn apa kamu ?”
“Saya mikirin Tia pak” dengan kaget dan keceplosan
“Wah kamu itu enggaj perhatiin pelajaran bapak ya?”

Satu kelas mulai berisik

“Cie.. cie Aris”
“Sudha – sudah kita lanjutkan pelajarannya”
“Iya pak”

Waktu sudah menunjukan pukul 14 : 45 waktunya untuk pulang. Sesampainya dirumah Aris yang masih mengingat – ingat kejadian tadi yang lucu dan romantis. Aris pun berniat membuat karangan lagu khusus untuk Tia. Kebetulan Aris yang cukup pandai bermain gitar ini mencoba dan terus mencoba membuatkan lagu untuk Tia. Sudah beberapa hari Aris memikirkan lagu yang cocok untuk Tia. Namun dia masih kesulitan untuk menghayati setiap syair nada.

Selang beberapa hari atau tepatnya 1 minggu kemudian terciptalah sebuah lagu yang indah. Aris yang selalu mencoba PDKT sama Tia tampaknya susah – susah gampang. Di hari rabu dia memberanikan diri untuk bernyanyi di hadapan Tia.

“Hay.. Tia”
“Ya ada apa ris..”
“Aku punya lagu yang khusus  buat kamu”
“Ohh.. romantis banget, mana lagunya”
“Ini dengarkan iya?”
“Iyah..”

Sseudah mempersembahkan lagu untuk Tia. Tiba – tiba Tia memeluk Aris. Dengan berbunga- bunga Aris pun tak percaya kalau dia di peluk oleh sang pujaan hati.

“Eh.. maaf ris”
“Enggak papa kok”
“Lagunya indah sekali”
“Itu di hayati dan khusus orang tersayang”
“Haha.. masak?”
“Iya.. manis, Eh kamu besok minggu ada acar enggak?”
“Enggak.. , memang kenapa?”
“Jalan – jalan mau?”
“Ehm.. boleh lah”
“Ok..”

Hari yang ditunggu Aris sudah tiba. Hati Aris yang masih berdebar debar dan berbunga bunga karena mau jalan – jalan dengan orang yang disayangnya itu. Aris lalu menelfon Tia apakah sudah siap.

“Hallo.. Asslammualaikum”
“Iya .. Walaikumsallam”
“Gimana jadi enggak jalan – jalannya cantik?”
“Kamu kesini dong jemput aku”
“Oke”

Selang beberapa menit Aris sudah sampai di depan rumah Tia. Tia yang menggunakan baju merah jambu dan celana jeans itu menunggu di depan rumah. Tia pun kaget tiba – tiba didepannya sudah ada cowok yang ganteng dan keren yaitu Aris.

“Ayo cantik..”
“Iya..”

Mereka pun langsung berangkat ke tujuan. Tia yang masih bingung mau di ajak Aris kemana. Pada hari itu hati Aris yang sangat senang karena tangan Tia merangkul dan kepalanya di sandarkan ke punggung Aris. Aris pun mengurangi kecepatan motornya agar bisa berlama di rangkul Tia. Selang beberapa menit merekapun sampai ketujuan. Ternyata tempat yang dituju Aris adalah pantai dengan pasir putih yang bersih. Mata Tia pun terbangun setelah melihat hamparan ombak yang indah dan sejuk.

“Ris.., bagus sekali”
“Oh.. iya dong, sebenarnya saya sudah lama menahan rasa ini”
“Rasa apa ris..”
“Saya boleh jujur enggak.., sebenarnya saya sudah lama suka sama kamu dari awal kita bertemu”
“Ha.. masak sih ris?”
“Iya beneran sumpah akau sayang dan cinta sama kamu. Apakah enggak mungkin?”
“Enggak mungkin..
“Ya udahlah..”
“Maksud saya enggak mungkin menolak cinta kamu dan sayang sama kamu, saya juga cinta dan sayang sama kamu”
“Beneran.. yes makasih sayang”
“Sama sama sayang”

Mereka pun kini sudah menjadi pasangan kekasih.

Rabu, 10 Desember 2014



Nama : Ricko Toniel
Kelas : XI IIS 1
No. Absen : 26

KEINGINAN YANG TERWUJUD OLEH SEMANGAT
                       
Tak pernah terlintas di benak Jo yang membuat dirinya harus melamun, membayangkan akan masa depannya. Dirinya bagaikan rumput yang siap ditiup angin, yang harus memaksakan diri untuk menerima nasib. Kini keinginannya untuk menjadi seorang atlet harus terombang-ambing dengan kondisi ekonomi keluarganya. Bagaimana tidak harus makanpun dia harus bekerja, agar dapat membeli  sebungkus nasi untuk dirinya dan ibunya yang terbaring sakit di tempat tidur.
Sinar mentari pagi membangunkan Jo dari bangunnya, tidak seperti anak-anak umumnya yang harus mengawali paginya dengan sekolah, namun tidak dengan Jo yang harus bekerja demi untuk mkan. Tanpa harus sarapan, dia melangkahkan kaki mencari botol dan kardus bekas  di sampah dan dipinggir jalan.                                                                                                                      

“Bu, Jo berangkat kerja dulu ya!”                                                                                                                                
“Oh ya nak. Hati-hati”.
“Iya, bu. Nanti kalau udah dapat uang, saya belikan nasi”.
“Iya nak”.
            Walaupun harus menghirup bau tak sedap dari tempat sampah, Jo tetap melakoninya dengan semangat. Merasa karung sudah penuh, Jo menjualnya ke bandar rosokan.
“Bang, mau jual rosok?”.
“Ya, taruh di timbangan saja”.
“Iya bang”.
“Jadi, semuanya 10.000”.
“terima kasih bang”.
“Iya sama-sama”.
            Tak sering lagi Jo selalu mampir di Gedung besar untuk melihat orang-orang yang sedang latihan bulutangkis. Gedung besar dan mewah itu adalah idaman Jo agar dapat latihan dan mengembangkan bakatnya untuk bisa menjadi seorang Atlet Bulutangkis. Keinginan tersebut kini hanya menjadi sebuah mimpi yang entah akan terwujud atau tidak, karena ekonomi keluarganya yang pas-pas’an sejak ayahnya meninggal. Setelah puas melihat orang latihan, Jo pulang dan membelikan nasi untuk ibunya.
“Bu, ini nasinya, silahkan di makan keburu dingin”.
“ya, nak “
“oh ya, ini  bu ini turahan uang dari hasil mulung tadi”.
“Iya nak, ibu akan tabung uangnya”.
            Disaat ada waktu luang Jo biasanya menghibur diri dengan bermain bulutangkis dengan tetangganya. Dia melakukannya semata-mata untuk menghilangkan kelelahan di tubuhnya yang sudah bekerja seharian, sekaligus untuk menyalurkan hobinya. Walaupun raket dan shuttlecock yang dimiliki sudah kusam, namun Jo tidak patah semangat. Dia tetap mengayuhkan raketnya.
            Keesokan harinya,Jo tetap melakukan kegiatan seperti biasanya . Tak sengaja saat melewati Gedung Besar ,dia melihat di papan pengumuman yang berisi “Akan ada tournament seminggu lagitanpa dipungut biaya ”. Jo pun berambisi ikut serta dalam tournament tersebut. Jo meminta tolong kepada tetangganya.
“Mas, bisa gak kita main bulutangkis setiap sore?” .
“Memangnya ada apa,  tumben ngomongnya serius?”.
“Itu mas, mau ikut tournament”.
“Ow, ya kalau ada waktu , saya akan sempetin untuk main sama kamu dan juga panggil mas dulu kalau mau main”.
“Iya mas, terima ksaih ya?”.
“Iya, sama-sama Jo”.
            Setelah seharian bekerja, Jo memanggil tetangganya untuk main bareng. Yang dilakukan Jo adalah semata-mata untuk melatih dan mempersiakan diri menjelang tournament.
“Mas, latihan yuk?”.
“O ya, ayo”.
“Ok, ambil raket dulu ya”.
“Kalau main itu jangan asal mukul, harus pakai perasaan?”.
“iya mas”.
            Sambil mengayuhkan raket , salah satu tetangga Jo mengejek dirinya.
“Latihannya giat bener?”.
“Oh iya, mau ikut tournament”.
“Emang bisa apa kamu, yang ikut di situ kan atlet beneran yang dilatih oleh pelatih profesional?”.
“Iya di coba aja ,itung-itung nambah pengalaman dan siapa tau bisa juara”.
“Ha..ha..ha juara dari mana “.
“Yang penting usaha dulu lah”.
            Hari tournament kuarang satu hari lagi akan dihelat. Persiapanpun suadah di persiapkan dengan matang. Dan  tak lupa juga Jo meminta doa retu kepada ibunya.
“Bu, besok Jo mau ikut tournament, Jo minta doanya ya?”.
“Iya nak, aku doakan suapaya dapat juara “.
“Amin , semoga juara “.
“Sudah tidur saja, udah malam juga, gak baik juga untuk kesehatanmu besok”.
“Iya bu, selamat malam”.
“Malam juga nak”.
            Pagi pun datang, Jo bergegas untuk pergi ke Gedung besar dan mewah itu. Disana Jo mendaftarkan dirinya untuk menjadi peserta di tournament  yang berhadiah 50.000.000. Tiba waktunya Jo tampil, sebelum dia tampil Jo melakukan pemanasan dan berdoa supaya dapat menang. Saat memasuki lapangan Jo tampak gugup. Babak pertama pun di lewatinya dengan baik hingga babak kedua. Dan Jo akan berhadapan lawan yang lebih alot lagi untuk mendapatkan tiket semi final. Hati Jo gembira dan ingin sekali menceritakan perjuangannya kepada ibunya.
“Bu, Jo masuk semi final”.
“Oh ya, bersyukur bisa masuk semi final”.
“Ow ya, aku tadi ngalahin lawan dengan skor telak, walaupun aku tanpa pelatih aku dapat nunjukin semangat aku kepada lawan”.
“Iya jangan mudah puas, masih banyak perjuanganmu untuk jadi juara?”.
“Iya bu, aku tidur dulu ya?”.
“Iya, nak”.
            Hari yang di tunggu pun tiba, Jo bergegas berangkat dan mengahadapi lawan untuk mendapatkan tiket semi final. Dia bermain dengan semangat dan juga main lepas . Poin demi poin diraihnya hingga mendapatkan poin 21-19 untuk kemenangan Jo, pada babak kedua Jo mendapatkan tekanan di akhir game untuk mendapatkan kemenangan , namun Jo dapat mengatasinya. Dan dapat mengamankan tiket Final.
            Dipartai puncak Jo ditantang lawan juara bertahan tahun lalu, walau berhadapan dengan juara bertahan Jo sempat merasa gerogi dan mlinder saat memasuki lapangan. Ini merupakan kesempatan Jo untuk menang. Poin yag didapat pun sangat ketat, saling kejar-kejaran poin game pertama pun Jo mampu menang dengan skor 21-19, pada game kedua lawan mampu memperbaiki kesalahan dengan unggul 21-19. Pada game ketiga pertandingan begitu berlangsung seru, hingga para penonton tercengang dengan permainan mereka berdua. Skor poinpun saling ketat di poin 18-18, namun Jo tetap semangat ,hingga merubah nilai 20-19 untuk kemengan Jo, pada saat poin akhir, Jo teringat tentang pesan tetangganya yang melatih Jo bahwa “kalau bermain, pakai perasaan”. Jo pun melakukan servise dan tidak gampang untuk melakukan kesalahan ,hingga pada akhirnya Jo mampu memanfaatkan peluang dengan smashnya yang tidak dapt di kembalikan lawan.
            Jo mampu menjadi juara 1 dan mampu mengalahkan juara bertahan, hinnga mengantarkan dirinya naik podium tertinggi dam menerima hadiah. Tak hanya hadiah juga namun dia juga dipanggil oleh PBSI untuk menjadi atlet pelatnas. Tiba dirumah Jo mengabarkan kemenangannya kepada ibunya.
“Ibu Jo menang, dapat juara 1”.
“Ibu bangga padamu nak”.
“Iya bu, oh ya aku juga dipanggil pelatnas dan juga aku dapat sekolah lagi “.
“Iya nak, sekarang kamu juga tidak usah cari botol lagi?”.
“ini semua berkat doa ibu khan?”.
“Dan juga usahamu nak”.
            Kini sekarang Jo dapat merubah nasibnya. Dia dapat mencari pekerjaan yang lebih baik sebagai atlet nasional. Kini perjuangan Jo yang sesungguhnya baru di mulai demi untuk mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Jo berharap suatu saat nanti dia dapat mendapatkan gelar juara di tournament yang berkelas internasional.


           






Blog Archive

Popular Posts